Sabtu, 20 Agustus 2016

SEJARAH HADITS PRA KODIFIKASI (PADA ZAMAN RASULULLAH SAW DAN TABI’IN)


SEJARAH HADITS PRA KODIFIKASI
(PADA ZAMAN RASULULLAH SAW DAN TABI’IN)
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Dosen Pengampu        : Isriani Hardini, M.A.
Mata Kuliah            Hadist

 

Disusun oleh:
Nama: Mukhammad Bukhari             (2014114001)
                      Kelas:  HES-A


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

PEKALONGAN

2014
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Pengertian dan pemahaman untuk melihat ilmu hadits itu mulai tumbuh dan sejak kapan pula mengalami perkembangannya. Di sini dapat dikatakan, bahwa benih-benih ilmu hadits telah tumbuh sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sejalan dengan diwurudkannya hadits-hadits kepada para sahabatnya.
Pada masa sahabat dan tabi’in, kebutuhan terhadap ilmu ini semakin terasa. Hal ini karena Rasulullah SAW sebagai sumber untuk perujukan hadits, sudah wafat sehingga dibutuhkan tolak ukur untuk menguji kebenaran suatu hadits, terutama hadits-hadits yang hanya didengar atau disampaikan oleh sorang saja.
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sejarah hadits pada masa Rasulullah SAW
2.    Bagaimana sejarah hadits pada masa ta’biin
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Periode-periode  perkembangan hadits
  1. Masa pertama : masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan.
  2. Nabi dibangkit hingga beliau wafat  pada tahun 1 H (13 S.H – 11 H)
  3. Masa kedua : masa membatasi riwayat, masa khulafaur rasyidin (12 H - 40 H)
  4. Masa ketiga : masa berkembang riwayat dan perlawanan dari kota-kota untuk mencari hadis, yaitu masa sahabat kecil dan tabi'in besar ( 41 H-akhir abad pertama H.
  5. Masa keempat: masa pembukuan hadis hadits(dari permulaan abad kedua hingga akhirnya).
  6. Masa kelima: masa mentashihkan hadist dan menyaringnya (awal abad ketiga hingga akhir).
  7. Masa keenam : masa menepis kitab-kitab hadist dan menyusun kitab-kitab jami' yang khusus (dari awal abad keempat hinggga jatuhnya Baghdad tahun 656 H)
  8. Masa ketujuh : masa membuat syarah, membuat kitab-kitab Takhrij, mengumpulkan hadist-hadist hukum dan membuat kitab-kitab Jami' yang umum serta membahas hadist-hadist zawa-it (656 H hingga dewasa ini)[1]
B.     Hadist dalam periode pertama (masa Rasulullah SAW)
 
Rasul hidup ditengah-tengah masyarakat sahabatnya, mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas tidak ada ketentuan yang melarang untuk menghalangi meraka bertemu dan bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan oleh Nabi adalah mereka langsung masuk kerumah Nabi dikala beliau tidak ada dirumah dan berbicara dengan para istri Nabi, tanpa hijab.
Segala perbuatan, ucapan, dan tutur kata beliau menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Selain itu kabilah-kabilah yang tinggal jauh dari kota madinah juga mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama dan sepulang mereka dari kampungnya, mereka segera mengajak kawan-kawannya,sekampung. Beberapa sahabat sengaja dari tempat-tempat yang jauh mendatangi nabi,hanya untuk menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan hukum syar'i.
Para ahli hadis menyatakan bahwa penulisan hadis telah dimulai sejak Rasulullah Saw masih hidup. Banyak sekali para sahabat yang memiliki catatan dan melakukan penulisan hadis baik untuk disimpan sebagai catatan pribadi maupun untuk memberikan pesan-pesan kepada orang lain dalam bentuk surat-menyurat dengan menghubungkan hadits. Namun demikian gerakan penulisan pada masa nabi.[2]
Mereka menyadari betapa pentingnya kedudukan hadits nabi dalam agama islam karena sunnah nabi merupakan pilar kedua setelah Al-Qur’an, orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagiaan.[3]
 
C.     Sebab-sebab hadits ditulis tiap-tiap nabi menyampaikan
 
Semua penulis sejarah Rasul, ulama hadits dan ummat islam sependapat menetapkan bahwa Al-Qur’anul karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan dari para sahabat. Rasul menetapkan para sahabat. Rasul memerintahkan para sahabat untuk menghafal Al-Qur’an.
Hadits dan sunnah, walaupun merupakan sumber yang penting pula dari sumber-sumber tasyri’, tidak memperoleh perhatian yang demikian. Dia tidak ditulis secara resmi, tidak diperintahkan orang menulisnya, seperti perintah menuliskan Al-Qur’an.
Muslim memberitakan dari Abu Sa’id Al Khudry, bahwa Nabi SAW bersabda:
لَا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ غَيْرَ اْلقُرْانِ، وَ مَنْ كَتَبَ عَنّي غَيْرَ اْلقُرْانِ                
                      “Jangan anda tulis apa yang anda dengar daripadaku, selain dari Al-Qur’an. Barangsiapa yang telah menulis sesuatu yang selain dari Al-Qur’an, hendaklah dihapuskan.”
            Dan Nabi bersabda lagi:
وَ حَدِّثُوْاعَنِّي وَلَاحَرَجَ، وَمَنْ كَذَ بَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنَ النَّارِ.
            “Dan ceritakanlah daripadaku. Tak ada keberatan anda ceritakan apa yang anda dengar daripadaku. Barangsiapa berdusta terhadap diriku (membuat sesuatu kedustaan, padahal aku tidak mengatakannya), hendaklah dia bersedia menempati kediamannya di dalam neraka.”
                               Hal ini tidak menghalangi adanya para sahabat yang menulis hadits dengan cara tidak resmi. Memang ada beberapa atsar yang shahih yang menegaskan adanya para sahabat menulis hadits di masa Nabi SAW.
D.    Kedudukan usaha menulis hadits di masa Nabi SAW.
                                                Riwayat- riwayat yang benar ada menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai lembaran-lembaran yang tertulis hadits. Mereka bukukan di dalamnya sebagian hadits yang mereka dengar dari Rasul SAW. Seperti Shafihah Abdullah ibn ‘Ash, yang dinamai “Ash Shadiqah”.
            Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqy dari Abu Hurairah:
         مَا مِنْ أَ حَدٍ مِنْ أَ صْحَا بِ ا لنَّبِيِّ ص م أَ كْثَرُ حَدِ يْثًا عَنْهُ مِنِّي إِ لَّأ مَا كَا نَ عِنْدِ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَمْرِ وَبْنِ اْلعَا صِ فَإِ نَّهُ كَا نَ يَكْتُبُ وَ لَا أَ نَا أَ كْتُبُ.
“Tak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadits Rasul daripadaku, selain Abdullah ibn Amr bin ‘Ash. Dia menuliskan yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.”[4]
 
E.     Metode Pengajaran hadits  Nabi
Metode yang digunakan Nabi Muhammad SAW untuk mengajarkan hadits/sunnahnya dapat dibagi ke dalam tiga kategori: yaitu metode lisan, metode tulisan dan metode peragaan praktis.

1. Metode Lisan
Nabi saw adalah guru bagi sunnah dan ummatnya. Untuk memudahkan hafalan dan pengertian, beliau biasa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Sesudah mengajari shahabat, biasanya beliau mendengarkan lagi apa yang sudah mereka pelajari. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Nabi saw dalam menyampaikan pesan dengan lisan ini, yaitu :
a.       Nabi menyampaikan pesannya di hadapan jam’ah. Dalam kesempatan semacaam ini para sahabat banyak yang memanfalkannya secara antusias. Oleh karena itu farum ini dihadiri secara bergantian, seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab, artinya jika sewaktu-waktu ia tak dapat hadir, maka ia berpesan kepada temannya yang hadir supaya menginformasikan hasilnya kepada Umar. Demikian pula jika Umar yang hadir, sementara kawannya absen, maka Umar berkewajiban menginformasikan hasilnya. Bahkan kepala suku yang jauh mengirimkan utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada anggota suku mereka.
 
b.      Dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan pesan haditsnya kepada sahabat tertentu, kemudian oleh sahabat tersebut disampaikan kepada yang lain. Hal ini terjadi karena secara tehnis memang mengharuskan demikian. Contohnya seperti ketika Rasulullah menyampaikan petunjuk yang berhubungan dengan hal-hal yang sensitive, seperti mengenai hubungan suami istri, Dalam hal ini disampaikan Nabi kepada istri-istrinya. Contoh lainnya, ketika Rasul dalam suatu perjalanan bersama beberapa orang sahabatnya, maka dalam hal ini yang menerima langsung hanya sedikit, kemudian berita itu diteruskan oleh sahabat yang mendampingi Nabi, kepada sahabat lain yang tidak ikut.
2. Metode Tulisan
Seluruh surat Rasulullah kepada raja-raja, penguasa daerah, kepala suku dan gubernur Muslim dapat dikategorikan ke dalam metode tulisan. Beberapa surat terdapat yang isinya sangat panjang dan mengandung berbagai masalah hukum ibadah, zakat dan perpajakan, serta lainnya. Jumlah hadits Nabi yang ditulis dalam bentuk surat Nabi ini cukup banyak, apalagi jika digabung dengan tulisan Abdullah bin Amr bin Ash, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar dan sebagainya.
Memang metode tulis dalam penyampaian hadits ini pernah menjadi perdebatan, khususnya pada masa Nabi dan sahabat. Akan tetapi menurut penelitian Musthafa A’dhami , data sejarah memperkuat metode tulisan juga digunakan oleh Rasulullah. Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu belum memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul (secara husus) sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu. Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda

لا تكتبو ا عني غير القرأن ومن كتب عني غير القرأن فليمحه- رواه مسلم          
Artinya:
"Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)

Mereka berkata kepada Abdullah bin Amr bin Ash, "Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum." Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda:

أكتب فوالذي نفسي بيده ما خرج من فمي إلا حق – مسلم

Artinya:
"Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran ".


Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: "Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah dari padaku, selain Abdullah bin Amr bin Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya". Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin, yang datang kemudian.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis Nabi dengan AI-Quran Sedangkan izin penulisan hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis Nabi dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada larangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Sedangkan izin menulis hadis Nabi diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.

Di antara sahabat Nabi yang mencatat hadits Nabi dalam shahifah-shahifahnya adalah:
Abdullah bin Amr bin Ash
Jabir bin Abdullah al-Anshari
Abdullah bin Abi Awfa
Samurah bin Jundub
Ali bin Abi Thalib
3.      Metode Peragaan Praktis
Metode ini biasanya wujud dalam hadits fi’liyah, seperti tata cara wudlu, tayammum, shalat, hajji dan sebagainya. Banyak ketentuan al-Qur’an yang bersifat mujmal. Kemudian Rasulullah memberikan petunjuk praktis supaya kaum muslimin dapat memahaminya dengan mudah. Menyangkut masalah peragaan praktis ini biasanya Rasulullah juga memberikan instruksi yang jelas, seperti sabda Nabi saw ; “shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” Dan hadits Nabi ;” Belajarlah kalia dariku upacara manasik ibadah hajjiku.” Demikian juga jika Nabi saw menjawab pertanyaan yang banyak, beliau biasanya meminta si penanya tinggal beberapa saat bersama nya, dan belajar melalui pengamatan terhadap praktik beliau.[5]
 
F.      Hadits pada masa Tabi’in
Pada masa Al-Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak mengkhawatirkan mereka untuk tercampur dengan hadits. Disamping itu pada masa Usman bin Affan para sahabat ahli hadits telah menyebar kebeberapa wilayah Islam, sehingga memudahkan para tabi’in untuk mempelajari hadits dari mereka.Hadits yang diterima oleh para tabi’in ini,seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadits pun yang tercecer atau terlupakan.[6]
Pada masa tabi’in juga terjadi kegiatan menghafal dan menulis hadits. Banyak riwayat yang menunjukan betapa mereka memperhatikan kedua hal ini. Tentang menghafal hadits,para tabi’in seperti: Ibnu Abi Laila, Abu al-Aliyah, Ibnu Shihab az Zuhri, Urwah bin az Zubair dan alqamah adalah tokoh-tokoh terkemuka yang sangat menekan pentinganya menghafal hadits secara terus menerus. Kata az Zuhri sebagaimana dikatakan al Auza’i:”Hilangnya ilmu itu karena lupa dan mau mengingat atau menghafalnya’’. Kata alqamah:”Dengan menghafal hadits maka hadits-hsdits akan terpelihara”.
Di samping menghafal hadits diantara mereka juga menulis atau memiliki catatan hadits yang mereka terima dari para sahabat. Diantara tabi’in besar yang menemukan hadits-hadits yang diterimanya ialah Abban bin Usman bin Affan, Ibrahim bin Yasizid an Nakho’i, Abu Salaman bin Abdurahman, Abi Qilabah, Ummu Darda, Junainah binti Yahya, Jabir bin Zaid al Asdi, dan lain-lain.[7]
 
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas kita tahu bahwa penulisan hadits telah dimulai sejak Rasulullah masih hidup,namun ditulis secara tidak resmi dan memang ada beberapa atsar shahih yang menegaskan para sahabat menulis hadits pada masa Nabi SAW, kemudian mereka bukukan hadits yang mereka dengar dari Nabi.
Setelah Rasulullah wafat, karena sahabat masih terfokus dengan penyebaran Alqur’an. Mereka juga sangat membatasi periwayatan dan penulisan hadits, namun Abu Bakar dan Umar bin Khattab tetap memberikan perhatian terhadap hadits.
Pada masa tabi’in berbeda dengan masa sahabat, pada masa ini hadits mulai berkembang dengan pesat karena hadits telah diterima dalam bentuk catatan-catatan/tulisan dan ada yang harus dihafal, keduanya saling melengkapi sehingga tidak ada satu hadits pun yang tercecer atau terlupakan.
 
DAFTAR PUSTAKA
Idri. 2010. Studi Hadits. Jakarta: Prenada Media Group.
Putra. 2013. “Metode Pengajaran Hadits oleh Nabi”.
Rofiah, Khusniati. 2010. Studi Ilmu Hadits. Ponorogo: STAIN PO PRESS.
Shiddieqy, Hasbi Ash dan Teungku Muhammad. 1997. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Zulkhulafair. 2012. “Sejarah Perkembangan Hadits”.



[1]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 1997), hlm. 26.


[2]Ibid., hlm. 33.


[3]Dr. Idri, M.Ag, Studi Hadits (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 31.


[4]Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits (Ponorogo: STAIN PO PRESS, 2010), hlm. 70.


[5]Putra, “Metode Pengajaran Hadits oleh Nabi,” Juni 2013, (http://putracenter.blogspot.com/2013/06/metode-pengajaran-hadist-oleh-nabi.html#ixzz2wN7h46vQ), Diakses 19Maret 2014.

 

 


[6]Ibid., hlm. 73.


[7]Ibid.,. hlm. 74-75.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar