SEJARAH HADITS PRA KODIFIKASI
(PADA ZAMAN RASULULLAH SAW DAN TABI’IN)
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Dosen Pengampu :
Isriani Hardini, M.A.
Mata Kuliah : Hadist
Disusun oleh:
Nama: Mukhammad Bukhari (2014114001)
Kelas: HES-A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pengertian
dan pemahaman untuk melihat ilmu hadits itu mulai tumbuh dan sejak kapan pula
mengalami perkembangannya. Di sini dapat dikatakan, bahwa benih-benih ilmu
hadits telah tumbuh sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sejalan dengan diwurudkannya
hadits-hadits kepada para sahabatnya.
Pada
masa sahabat dan tabi’in, kebutuhan terhadap ilmu ini semakin terasa. Hal ini
karena Rasulullah SAW sebagai sumber untuk perujukan hadits, sudah wafat
sehingga dibutuhkan tolak ukur untuk menguji kebenaran suatu hadits, terutama
hadits-hadits yang hanya didengar atau disampaikan oleh sorang saja.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah hadits pada masa
Rasulullah SAW
2.
Bagaimana sejarah hadits pada masa
ta’biin
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Periode-periode perkembangan
hadits
- Masa pertama : masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan.
- Nabi dibangkit hingga beliau wafat pada tahun 1 H (13 S.H – 11 H)
- Masa kedua : masa membatasi riwayat, masa khulafaur rasyidin (12 H - 40 H)
- Masa ketiga : masa berkembang riwayat dan perlawanan dari kota-kota untuk mencari hadis, yaitu masa sahabat kecil dan tabi'in besar ( 41 H-akhir abad pertama H.
- Masa keempat: masa pembukuan hadis hadits(dari permulaan abad kedua hingga akhirnya).
- Masa kelima: masa mentashihkan hadist dan menyaringnya (awal abad ketiga hingga akhir).
- Masa keenam : masa menepis kitab-kitab hadist dan menyusun kitab-kitab jami' yang khusus (dari awal abad keempat hinggga jatuhnya Baghdad tahun 656 H)
- Masa ketujuh : masa membuat syarah, membuat kitab-kitab Takhrij, mengumpulkan hadist-hadist hukum dan membuat kitab-kitab Jami' yang umum serta membahas hadist-hadist zawa-it (656 H hingga dewasa ini)[1]
B.
Hadist dalam
periode pertama (masa Rasulullah SAW)
Rasul hidup ditengah-tengah
masyarakat sahabatnya, mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara
bebas tidak ada ketentuan yang melarang untuk menghalangi meraka bertemu dan
bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan oleh Nabi adalah mereka langsung
masuk kerumah Nabi dikala beliau tidak ada dirumah dan berbicara dengan para
istri Nabi, tanpa hijab.
Segala perbuatan, ucapan, dan tutur
kata beliau menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Selain itu kabilah-kabilah
yang tinggal jauh dari kota madinah juga mengutus salah seorang anggotanya
pergi mendatangi nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama dan sepulang mereka
dari kampungnya, mereka segera mengajak kawan-kawannya,sekampung. Beberapa
sahabat sengaja dari tempat-tempat yang jauh mendatangi nabi,hanya untuk menanyakan
sesuatu yang berkaitan dengan hukum syar'i.
Para ahli hadis menyatakan bahwa
penulisan hadis telah dimulai sejak Rasulullah Saw masih hidup. Banyak sekali
para sahabat yang memiliki catatan dan melakukan penulisan hadis baik untuk
disimpan sebagai catatan pribadi maupun untuk memberikan pesan-pesan kepada
orang lain dalam bentuk surat-menyurat dengan menghubungkan hadits. Namun demikian
gerakan penulisan pada masa nabi.[2]
Mereka menyadari betapa pentingnya
kedudukan hadits nabi dalam agama islam karena sunnah nabi merupakan pilar
kedua setelah Al-Qur’an, orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka
dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagiaan.[3]
C.
Sebab-sebab
hadits ditulis tiap-tiap nabi menyampaikan
Semua
penulis sejarah Rasul, ulama hadits dan ummat islam sependapat menetapkan bahwa
Al-Qur’anul karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan dari para
sahabat. Rasul menetapkan para sahabat. Rasul memerintahkan para sahabat untuk
menghafal Al-Qur’an.
Hadits
dan sunnah, walaupun merupakan sumber yang penting pula dari sumber-sumber
tasyri’, tidak memperoleh perhatian yang demikian. Dia tidak ditulis secara
resmi, tidak diperintahkan orang menulisnya, seperti perintah menuliskan
Al-Qur’an.
Muslim
memberitakan dari Abu Sa’id Al Khudry, bahwa Nabi SAW bersabda:
لَا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ غَيْرَ اْلقُرْانِ، وَ مَنْ كَتَبَ عَنّي
غَيْرَ اْلقُرْانِ
“Jangan anda tulis apa
yang anda dengar daripadaku, selain dari Al-Qur’an. Barangsiapa yang telah
menulis sesuatu yang selain dari Al-Qur’an, hendaklah dihapuskan.”
Dan Nabi bersabda lagi:
وَ حَدِّثُوْاعَنِّي وَلَاحَرَجَ، وَمَنْ كَذَ بَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنَ النَّارِ.
“Dan ceritakanlah daripadaku. Tak
ada keberatan anda ceritakan apa yang anda dengar daripadaku. Barangsiapa
berdusta terhadap diriku (membuat sesuatu kedustaan, padahal aku tidak
mengatakannya), hendaklah dia bersedia menempati kediamannya di dalam neraka.”
Hal ini tidak
menghalangi adanya para sahabat yang menulis hadits dengan cara tidak resmi.
Memang ada beberapa atsar yang shahih yang menegaskan adanya para sahabat
menulis hadits di masa Nabi SAW.
D.
Kedudukan usaha
menulis hadits di masa Nabi SAW.
Riwayat- riwayat yang benar ada menceritakan bahwa sebagian sahabat
mempunyai lembaran-lembaran yang tertulis hadits. Mereka bukukan di dalamnya
sebagian hadits yang mereka dengar dari Rasul SAW. Seperti Shafihah Abdullah
ibn ‘Ash, yang dinamai “Ash Shadiqah”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqy
dari Abu Hurairah:
مَا مِنْ أَ حَدٍ مِنْ أَ صْحَا بِ ا لنَّبِيِّ ص م أَ كْثَرُ حَدِ
يْثًا عَنْهُ مِنِّي إِ لَّأ مَا كَا نَ عِنْدِ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَمْرِ وَبْنِ
اْلعَا صِ فَإِ نَّهُ كَا نَ يَكْتُبُ وَ لَا أَ نَا أَ كْتُبُ.
“Tak ada seorang dari
sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadits Rasul daripadaku,
selain Abdullah ibn Amr bin ‘Ash. Dia menuliskan yang dia dengar, sedangkan aku
tidak menulisnya.”[4]
E.
Metode Pengajaran hadits Nabi
Metode yang
digunakan Nabi Muhammad SAW untuk mengajarkan hadits/sunnahnya dapat dibagi ke
dalam tiga kategori: yaitu metode lisan, metode tulisan dan metode peragaan
praktis.
1. Metode Lisan
Nabi saw
adalah guru bagi sunnah dan ummatnya. Untuk memudahkan hafalan dan pengertian,
beliau biasa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Sesudah mengajari
shahabat, biasanya beliau mendengarkan lagi apa yang sudah mereka pelajari. Ada
beberapa cara yang ditempuh oleh Nabi saw dalam menyampaikan pesan dengan lisan
ini, yaitu :
a.
Nabi menyampaikan pesannya di hadapan jam’ah. Dalam
kesempatan semacaam ini para sahabat banyak yang memanfalkannya secara
antusias. Oleh karena itu farum ini dihadiri secara bergantian, seperti yang
dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab, artinya jika sewaktu-waktu ia tak
dapat hadir, maka ia berpesan kepada temannya yang hadir supaya
menginformasikan hasilnya kepada Umar. Demikian pula jika Umar yang hadir,
sementara kawannya absen, maka Umar berkewajiban menginformasikan hasilnya. Bahkan
kepala suku yang jauh mengirimkan utusannya ke majlis ini, untuk kemudian
mengajarkannya kepada anggota suku mereka.
b.
Dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan
pesan haditsnya kepada sahabat tertentu, kemudian oleh sahabat tersebut
disampaikan kepada yang lain. Hal ini terjadi karena secara tehnis memang
mengharuskan demikian. Contohnya seperti ketika Rasulullah menyampaikan
petunjuk yang berhubungan dengan hal-hal yang sensitive, seperti mengenai
hubungan suami istri, Dalam hal ini disampaikan Nabi kepada istri-istrinya.
Contoh lainnya, ketika Rasul dalam suatu perjalanan bersama beberapa orang
sahabatnya, maka dalam hal ini yang menerima langsung hanya sedikit, kemudian
berita itu diteruskan oleh sahabat yang mendampingi Nabi, kepada sahabat lain yang
tidak ikut.
2. Metode
Tulisan
Seluruh surat Rasulullah kepada
raja-raja, penguasa daerah, kepala suku dan gubernur Muslim dapat dikategorikan
ke dalam metode tulisan. Beberapa surat terdapat yang isinya sangat panjang dan
mengandung berbagai masalah hukum ibadah, zakat dan perpajakan, serta lainnya.
Jumlah hadits Nabi yang ditulis dalam bentuk surat Nabi ini cukup banyak,
apalagi jika digabung dengan tulisan Abdullah bin Amr bin Ash, Ali bin Abi Thalib,
Abu Bakar dan sebagainya.
Memang metode tulis dalam
penyampaian hadits ini pernah menjadi perdebatan, khususnya pada masa Nabi dan
sahabat. Akan tetapi menurut penelitian Musthafa A’dhami , data sejarah
memperkuat metode tulisan juga digunakan oleh Rasulullah. Para penulis sejarah
Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa
AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para
sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan
menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah
kurma, di batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat,
Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu,
ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum
terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam
penulisannya ketika itu belum memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran.
Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena
tidak diperintahkan oleh Rasul (secara husus) sebagaimana ia memerintahkan
mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki
catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang
pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah
yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS
yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat
menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu.
Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda
لا تكتبو ا عني غير القرأن ومن كتب عني غير القرأن فليمحه- رواه مسلم
Artinya:
"Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)
Mereka berkata kepada Abdullah bin Amr bin Ash, "Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum." Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda:
أكتب فوالذي نفسي بيده ما خرج من فمي إلا حق – مسلم
Artinya:
"Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran ".
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: "Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah dari padaku, selain Abdullah bin Amr bin Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya". Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin, yang datang kemudian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis Nabi dengan AI-Quran Sedangkan izin penulisan hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis Nabi dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada larangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Sedangkan izin menulis hadis Nabi diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.
Di antara sahabat Nabi yang mencatat hadits Nabi dalam shahifah-shahifahnya adalah:
Abdullah bin
Amr bin Ash
Jabir bin
Abdullah al-Anshari
Abdullah bin
Abi Awfa
Samurah bin
Jundub
Ali bin Abi
Thalib
3.
Metode Peragaan Praktis
Metode ini biasanya wujud dalam hadits fi’liyah,
seperti tata cara wudlu, tayammum, shalat, hajji dan sebagainya. Banyak
ketentuan al-Qur’an yang bersifat mujmal. Kemudian Rasulullah memberikan
petunjuk praktis supaya kaum muslimin dapat memahaminya dengan mudah.
Menyangkut masalah peragaan praktis ini biasanya Rasulullah juga memberikan
instruksi yang jelas, seperti sabda Nabi saw ; “shalatlah kalian sebagaimana
kalian melihatku shalat.” Dan hadits Nabi ;” Belajarlah kalia dariku upacara manasik
ibadah hajjiku.” Demikian juga jika Nabi saw menjawab pertanyaan yang banyak,
beliau biasanya meminta si penanya tinggal beberapa saat bersama nya, dan
belajar melalui pengamatan terhadap praktik beliau.[5]
F.
Hadits pada
masa Tabi’in
Pada masa Al-Quran
sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak mengkhawatirkan mereka
untuk tercampur dengan hadits. Disamping itu pada masa Usman bin Affan para
sahabat ahli hadits telah menyebar kebeberapa wilayah Islam, sehingga
memudahkan para tabi’in untuk mempelajari hadits dari mereka.Hadits yang
diterima oleh para tabi’in ini,seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk
catatan-catatan atau tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk
yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka
saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak
ada satu hadits pun yang tercecer atau terlupakan.[6]
Pada masa
tabi’in juga terjadi kegiatan menghafal dan menulis hadits. Banyak riwayat yang
menunjukan betapa mereka memperhatikan kedua hal ini. Tentang menghafal
hadits,para tabi’in seperti: Ibnu Abi Laila, Abu al-Aliyah, Ibnu Shihab az
Zuhri, Urwah bin az Zubair dan alqamah adalah tokoh-tokoh terkemuka yang sangat
menekan pentinganya menghafal hadits secara terus menerus. Kata az Zuhri
sebagaimana dikatakan al Auza’i:”Hilangnya ilmu itu karena lupa dan mau
mengingat atau menghafalnya’’. Kata alqamah:”Dengan menghafal hadits maka
hadits-hsdits akan terpelihara”.
Di samping
menghafal hadits diantara mereka juga menulis atau memiliki catatan hadits yang
mereka terima dari para sahabat. Diantara tabi’in besar yang menemukan
hadits-hadits yang diterimanya ialah Abban bin Usman bin Affan, Ibrahim bin
Yasizid an Nakho’i, Abu Salaman bin Abdurahman, Abi Qilabah, Ummu Darda,
Junainah binti Yahya, Jabir bin Zaid al Asdi, dan lain-lain.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di
atas kita tahu bahwa penulisan hadits telah dimulai sejak Rasulullah masih
hidup,namun ditulis secara tidak resmi dan memang ada beberapa atsar shahih
yang menegaskan para sahabat menulis hadits pada masa Nabi SAW, kemudian mereka
bukukan hadits yang mereka dengar dari Nabi.
Setelah
Rasulullah wafat, karena sahabat masih terfokus dengan penyebaran Alqur’an.
Mereka juga sangat membatasi periwayatan dan penulisan hadits, namun Abu Bakar
dan Umar bin Khattab tetap memberikan perhatian terhadap hadits.
Pada masa
tabi’in berbeda dengan masa sahabat, pada masa ini hadits mulai berkembang
dengan pesat karena hadits telah diterima dalam bentuk catatan-catatan/tulisan
dan ada yang harus dihafal, keduanya saling melengkapi sehingga tidak ada satu
hadits pun yang tercecer atau terlupakan.
DAFTAR PUSTAKA
Idri. 2010. Studi Hadits.
Jakarta: Prenada Media Group.
Putra. 2013. “Metode Pengajaran Hadits oleh Nabi”.
http://putracenter.blogspot.com/2013/06/metode-pengajaran-hadist-oleh-nabi.html#ixzz2wN7h46vQ. Diakses 19 Maret 2014.
Rofiah, Khusniati. 2010. Studi
Ilmu Hadits. Ponorogo: STAIN PO PRESS.
Shiddieqy, Hasbi Ash dan Teungku
Muhammad. 1997. Sejarah dan
Pengantar Ilmu
Hadits. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Zulkhulafair. 2012. “Sejarah
Perkembangan Hadits”.
http://zulkhulafair.blogspot.com/2012/10/sejarah-perkembangan-hadis-pada-masa.html. Diakses 19 Maret 2014.
[1]Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra. 1997), hlm. 26.
[5]Putra, “Metode Pengajaran Hadits oleh Nabi,” Juni
2013, (http://putracenter.blogspot.com/2013/06/metode-pengajaran-hadist-oleh-nabi.html#ixzz2wN7h46vQ), Diakses 19Maret 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar